Sabtu, 25 November 2017

BOLEH NGEBUT, JANGAN NGEBET!





Banyak petuah lewat pepatah bahkan filosopi yang saat ini sudah tidak efektif untuk dilaksanakan.  Seiring berkembangnya zaman, puncak pencarian atau tujuan pun mulai berubah. Terkadang kepalsuan lebih laris dari keaslian. Tak jarang kita melihat peniru yang tidak punya jati diri, lebih diakui dan dikenal ketimbang yang “ditiru” (diikuti). Ada apa???

Boleh jadi memang benar bahwa makhluk dan prinsip-prinsipnya akan terus berubah tanpa henti, terlepas ada saatnya perubahan itu kembali ke awal seperti roda yang kadang di atas, kadang di bawah.
_AHS_ 


Masih ingatkah Anda dengan pepatah; Biar Lambat Asal Selamat? Petuah ini sering kudengar dari lisan ayah. Beberapa tahun kemudian, efektivitasnya mulai dikritik dan diragukan dengan masuknya istilah baru; Cepat Tepat. Pergeserannya tidak banyak dirasakan orang, namun pada pelaksanaannya, jelas-jelas perubahan itu nyata. Keselamatan telah menjadi nomor selanjutnya setelah kecepatan. Selamat bukan lagi menjadi tujuan. Ketika  melihat perlombaan balap motor, jelas terlihat bahwa keselamatan tidak begitu penting. Apa dan bagaimana pun kondisinya, yang terpenting sampai ke garis finish dengan waktu tercepat.

Banyak kejadian yang berstatus sama dengan kasus yang berbeda. Seperti halnya pencuri dengan pemilik yang sudah semakin sulit dibedakan.

Nah, hal di atas memiliki banyak pelajaran penting yang dapat kita jadikan bahan berpikir bahwa antara satu hal yang berlawanan dengan hal lain sebenarnya memiliki hubungan searah yang patut diperhatikan. Seperti benci dengan rindu, keduanya bermakna perduli. Layaknya hukum dengan hikmah yang membedakannya hanyalah sudut pandang dan tak ubahnya zina dengan nikah (jima') yang menjadikannya halal atau haram adalah akad.

Tergesa-gesa adalah perbuatan setan, namun bergegas buat taubat demi menggapai maghfiroh Allah SWT adalah keharusan. Apa yang membedakan semua itu? Tempat dan kondisi.

Sebuah ayat yang populer dan menarik untuk ditadabburi, Firman Allah;

Wahai jiwa yang tenang! (27), Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya (28). Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hambak-Ku (29), dan masuklah ke dalam surga-Ku (30).” (Al-Fajr 27-30)

Hati yang ridha dan diridhai-Nya adalah kunci mendapatkan surga Allah SWT.

DIAM ATAU BICARA




Aku berani mengatakan, Jika kamu berbicara, maka akan datang kepadamu segala keindahan dan jika engkau lebih memilih berdiam diri, maka rasa manis akan selalu meliputimu. Sebab segala ciptaan-Nya tetap saja bermanfaat. Tidak akan ada yang pernah sia-sia.

Bicara dapat menjadikan manusia senang, tapi belum tentu menjadikan tenang. Bicara dapat menimbulkan kejelasan, namun diam dapat menimbulkan “harga”. Bicara punya dua sisi, yaitu kepintaran dan kebodohan. Diam juga punya dua sisi yaitu rasa penasaran dan rasa kasihan.

Bicara itu dakwah lisaniah. Sementara diam adalah emasnya lisan. Bicara itu lambang keramaian. Diam itu simbol kesunyian.

Pilih bicara atau diam?

_AHS_

 

Segala sesuatu memiliki konsekwensi yang berbeda. Manfaat dan mudaratnya akan tetap ada dalam sudut pandang yang memilihnya. Tinggal bagaimana memilih yang tentunya lebih banyak mendatangkan manfaat.

Dakwah dalam artian menyeru pada kebaikan pasti membutuhkan komunikasi. Lewat acara acara keagamaan, para dai menyampaikan pesan pesan moral yang baik dan tentu hampir kesemuanya menggunakan lisan sebagai alat.

Pro dan kontra pasti ada terutama saat sekarang ini. Pemerhati kesalahan akan lebih banyak ketimbang pencinta kebenaran. Lisan dilarang untuk keseleo, apalagi sengaja melecehkan. Dilema besar bagi dai saat ini yang menjadikannya terkekang dalam dakwah. Disatu sisi ada kalimat, Sampaikanlah kebenaran walau pahit, tapi di sisi lain ada peribahasa, Mulutmu Harimaumu. Akhirnya para dai yang ingin aman, memilih hati-hati dan banyak pasrah berserah kepada Allah SWT. Walaupun terkadang ada juga yang sengaja salah atau menyalahkan orang agar cepat terkenal dengan tidak mengindahkan dua pepatah di atas, tapi memiliki rujukan tersendiri yakni; Bul 'alaa zamzam Fatu'raf" yang artinya Kencingi Sumur Zamzam, Maka Kamu Akan Terkenal. Ha ha ha, seru ya?

Di lain sisi pemerhati kesalahan semakin merajalela seolah upah atau gaji bulanan mereka sedang diusulkan naik dikarenakan prestasi mereka yang semakin baik. Makin seru ya? Padahal gaji saja nggak punya loh. Terus kenapa kok semangat kerja tanpa pamrih? Ni dia. Sponsor keburukan itu akan lebih dan selalu banyak. Sebab bung Rhoma sudah mengatakan, “Itulah perangkap setan.” Lagi-lagi setan cegukan karena terus diceritain. Kasihan setan ya? Padahal dalam surat Annas dikatakan bahwa setan itu berasal dari jin dan manusia. Maka nggak heran jika setan teriak, “Setaaaaaaaaaan!”

Masih ingat dengan imam Ahmad ibnu Hambal seorang ulama besar ahli fiqh yang hidup dalam kemiskinan pernah merasakan penderitaan hidup di penjara, karena mempertahankan prinsip pemikiran yang diyakininya dan berbeda dengan khalifah al-Makmun sebagai pemerintahan saat itu.

Imam Abu Hanifah, ahli fiqh yang menjadi fondasi madzhab Hanafi dipenjara karena menolak diangkat menjadi Qadhi oleh khalifah Abu Ja'far al-Mansur. Tidak hanya dipenjara, beliau juga dicambuk dengan 100 kali dera karena dianggap membangkang atas perintah khalifah.

Demikian pula pernah dialami oleh imam Syafi'i, seorang ulama besar yg pemikirannya menjadi rujukan mayoritas ummat Islam dunia hingga saat ini. Beliau dipenjara karena fitnah yang menuduhnya sebagai Syi'ah. Atas tuduhan ini beliau tidak hanya dipenjara tetapi diseret ramai-ramai dalam keadaan tangan terbelenggu seperti pelaku tindak pidana.

Tidak semuanya dapat diceritakan di sini, yang jelas dan pasti adalah bahwa resiko dalam bicara memang selamanya akan tinggi. Apalagi yang berbicara adalah publik Figur dan berpengaruh dalam merubah arah pikir.

Di sisi lain ada juga yang mencapai puncak kesuksesan dengan banyak bicara. Semisal motivator motivator yang menyampaikan pemikirannya dan kaya sebab hal tersebut. Walaupun ada juga yang sedikit terpeleset, tapi tidak sampai masuk penjara. Mungkin hanya populeritas yang terkurangi.

Nah, kenapa kok malah judul dakwah dalam bicara mulai hilang? Karena dakwah telah terlampaui dan berubah dengan sendirinya diakibatkan ada trend baru yang muncul yakni dai. Dalam artian bahwa dai (orang yang menyampaikan) lebih menjadi pusat perhatian ketimbang dakwah (kebaikan yang disampaikan).

Selanjutnya manusia mulai melirik lahan baru dalam pekerjaan. Karena dalam pandangan manusia saat ini, dai telah menjadi profesi yang dapat menghasilkan pundi-pundi di dunia. Walhasil sekarang banyak sudah ustadz dadakan dengan istilah; Mendadak Ustadz.

Materi ceramah bukan hal yang penting. Semakin banyak jadwal acara untuk bicara, maka banyak pula pendapatan (penghasilan), itu yang terpenting. Syarat banyaknya jadwal adalah populer karena disenangi. Akhirnya para dai berlomba menjadi pesanan masyarakat tanpa perduli pesan-pesan Allah yang seharusnya disampaikan.

Apa yang menjadi kesenangan dan pesanan panitia pengundang, itulah yang harus disampaikan dai. Publikasi harus gencar sehingga cepat dikenal masyarakat tanpa perduli apa pun caranya. Jika harus punya gelar aneh, maka embel-embel aneh pun mulai dibuat pada masing-masing nama dai. Ada yang bergelar Ustadz Janggut Ayam, tanpa perduli kalau ayam tidak pernah punya janggut. Ada yang bergelar abu segala abu sampai kepada Ustadz Abu Dafur, eh salah, dapur maksudnya. Namun karena harus mirip arab, maka setiap huruf P harus berubah menjadi F. “Astaghfirullahal’adzim,” gumamku, “kata kata orang, ‘aku juga ustadz!’ Gimana ya? Ikutan kagak? Ha ha ha.” Untuk itulah aku selalu berdoa, “Ya Allah, beri aku petunjuk karena aku masih tersesat, agar kiranya aku tidak salah dalam melangkah.”

Itulah fakta saat ini bagi orang yang harus banyak bicara. Resiko yang didapat akan lebih besar sesuai dengan tingkat penghasilan yang juga akan tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa selangkah demi selangkah jaman telah berubah. Sehingga kebingungan kerap semakin melanda insan dalam menentukan pilihannya.

Ikhlas, rida, tawadu’,wara’, istiqomah dan seluruh simbol-simbol akhirat itu hampir sirna dengan hanya menjadikannya topeng-topeng canggih dalam menggapai kesuksesan dunia.

Kelanjutannya saat ini, dengan demikian haruskah diam menjadi pilihan? Tunggu dulu bro! Diam juga memiliki resiko. Tidak dengan diam semua masalah akan tuntas. Bisa jadi dengan diam, kita semakin diinjak-injak baik dengan cara ditikam langsung atau ditusuk dari belakang. Ketika orang baik lewat di pinggir jalan, lantas copet lewat dan dia tertuduh sebagai copet, apakah dia harus diam? Tidak bukan?

Lain hal jika dia lewat depan rumah orang lantas digonggong anjing. Yah, mungkin diam dan lari adalah pilihan terbaik sebelum dikejar anjing. He he he. Tapi ini masalahnya beda, diteriakin; “maliiiiiiiiiiiiiing!” Kan bahaya kalau diam seolah menerima vonis. Sama juga seperti banyak orang yang sekarang menjadi cemoohan masyarakat sebab fitnah yang jelas-jelas tidak ia lakukan. Diam bukanlah pilihan tepat bagi mereka apalagi persoalannya sampai ke pengadilan.

Bicara itu tetap perlu dan diam itu juga penting. Kondisilah yang menentukan, kebijakan apa yang harus dilakukan, apakah bicara atau diam?

Suatu saat dalam seminggu penuh saya banyak diam, sampai tertulis sebuah syair yang berjudul;

Serba Salah; 

Diamku bukan tanda ku setuju

Hatiku tlah berkata ku tak mampu

Ada dinding batas selaku manusia

Ada ruang hati yang tak semua terbaca

Jika ku ikut semua kata

Pasti jadi serba salah

Manusia hanya pandai bicara

Tak beri apa-apa

Aku bergaya salah, bergaul juga salah

Ketinggalan jaman salah

Berbaik hati salah, berbagi juga salah

Dengki smakin masalah

Benar kata pepatah, diam itu emas kawan

Tak guna banyak bicara

Fitnah di mana-mana

Ingin tinggal di hutan

Ku hidup sendirian, tapi ku bukan Tarzan

Akhirnya ku tersenyum

Pahami kehidupan dan misteri dari Tuhan

 

Itu pertanda bahwa apa yang terjadi pada kebanyakan manusia saat ini juga terjadi pada diri saya. Betapa pelik yang kurasa dalam menghadapi kehidupan ini. Kadangkala malas rasanya bergaul, namun silaturrahim adalah anjuran agama.

Kamis, 23 November 2017

WAHAI MALAM



Siang menjanjikan cahayanya.  Malam menyelimuti dengan dinginnya. Alam memiliki sepasang waktu pembagi antara sinar nyata yang menghangatkan dengan semunya angin yang menyejukkan. Diantara keduanya ada pula dua cahaya yang hampir sama namun tetap berbeda yaitu fajar dan senja.

_AHS_

Ada tiga malam penting bagiku, yang akan aku ceritakan nanti. Malam yang begitu mempengaruhi hidupku. Sehingga aku pernah bersyair memuja Allah melalui salah satu ciptaannya yakni malam. Syair itu bercerita tentang rinduku pada malam;

Senjaku menjelang malam

Terasa indah, walau mencekam

Rembulan senyum purnama

Serasa hati tengah merdeka

Seisi alam semesta seolah tertidur panjang

Semakin engkau kan kelam, tenangmu semakin datang

Semakin engkau kan kelam, kalbuku tenang sendu

Wahai malam, jangan pergi, janganlah berganti pagi

Sepimu bagai sorga, bagiku kau pelita

Jerat-jerat asmara dapat kulupakan

Beban-beban hidupku sejenak hilang

Kau kutunggu, sampai kapan pu engkau kunanti

Duhai sepi, bagiku malam sungguh berarti

Wahai malam, wahai malam,

Wahai malam, wahai malam………………….

Demikianlah syair itu aku dengdangkan lewat lagu. Sebuah syair yang menurut salah seorang temanku begitu indah. Kalaulah dia tahu bahwa lagu itu adalah keadaanku sebenarnya, pastilah dia menilainya menyedihkan, bukan indah seperti yang dia nilai sebelumnya.

Tepat 27 Desember beberapa tahun yang lalu, di sebuah malam yang  sangat mempengaruhi hidupku, dimana besoknya aku hijrah dari kota kelahiranku menuju Jakarta. Malam itulah keputusan besar untuk meninggalkan Sumatera Utara terpaksa aku lakukan, setelah seminggu penuh aku dihujani hujatan, cacian dan makian sebab suatu kesalahan janji yang belum bisa kutepati. Kutinggalkan isteri dan anak-anak, aku melangkah memberanikan diri ke sebuah tempat yang belum pernah sama sekali aku kunjungi.

Malam itu begitu menenangkanku, membentuk sebuah keberanian dari hening dan sejuknya. Seketika aku bisa berpikir dengan tenang tanpa gegabah. Sinar rembulan mampu memperlihatkan hamparan bayangan masa depan dengan berhijrah. Subhanallah, sungguh sangat-sangat berbeda malam itu. Sampai azan subuh berkumandang, sama sekali rasa kantuk tidak hinggap di mataku. Hanya ada tekad kuat dan cita-cita untuk berubah dengan berhijrah.

Setelah malam itu, ada malam kedua yang sangat membuatku ingin dekat dengan Allah SWT. Malam itu adalah malam lebaran pertamaku tanpa keluarga di Jakarta. Suara Takbir begitu membuatku sedih. Tangisanku tak henti mengingat jauhnya keluarga dan mulai mengenang dosa.

Allah, Aku Datang; https://youtu.be/RicekDerxCo

 

Kala imanku tersentuh birahi

Kala khayalku memudar nyata

Hilang, semua hilang

Lenyap, tak berbekas

Sinar Ilahi meredup kelam

Hasrat rendahku membentur langit

Menang, nafsu menang

Rabbi tuntun daku

Allah, aku datang

Allah, aku pulang

Tak kuasa, tak berdaya

Allah dzul jalali wal ikromi

Berbulan-bulan aku hidup sendiri tanpa isteri. Belum bisa aku membawa mereka ke Jakarta, karena belum tepat waktunya disamping keadaan yang tidak memungkinkan. Rindu rasanya, tapi apa daya tangan tak sampai

Tentang malam, Allah begitu banyak menceritakannya dalam AlQuran. Dibalik kegelapannya, ada sinar rembulan yang dapat menjadikannya menyenangkan dengan redup keindahan. Sejuk dengan angin yang berhembus menghilangkan sejenak hiruk-pikuk dan panasnya siang. Aku teringat sejenak akan apa yang dahulu dipikirkan oleh Ibrahim AS ketika kagum melihat siang dengan mentarinya lantas berganti dengan malam yang disinari rembulan. Betapa Allah Sang Maha dalam karya-Nya. 

Firman Allah SWT; “Dia memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam dan menundukkan matahari dan bulan, masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan. Yang (berbuat) demikian itulah Allah Tuhanmu, kepunyaan-Nyalah kerajaan. Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. (QS. 35:13)

 

”Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkannya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). (QS. 10:5)

Mengapa ciptaan Allah yang begitu mengagumkan itu mulai tidak diingat lagi oleh hamba-hambaNya saat ini? Tidak lain dikarenakan masing masing manusia sudah terpukau dengan dirinya sendiri. “Narsis lu!” kata orang jakarta.

Bayangkan bagaimana kita sibuk mempublikasikan kehebatan kita! Sampai hal-hal yang tabu pun telah kita kabarkan di entertainment. “Istri saya sedang nggak bisa puasa saat ini, maklumlah, Dia sedang haid!” kata seorang ustadz terkenal di acara televisi. Hemat saya; tidaklah begitu pentingnya sampai haid pun harus diberitakan. Namun itu tetap saja pandangan masing-masing orang yang tentunya berbeda-beda.

Ada sebuah malam yang paling dinanti orang beriman ketika bulan ramadan. Malam itu dinamakan lailatul qadar. Banyak hal istimewa di dalamnya, sehingga dikatakan bahwa malam itu lebih baik dari seribu bulan. Malam itu akan hadir setahun sekali. Tidak semua orang tentunya dapat merasakannya.

Ngantuk, dah malam. bersambung..................................

ULAMA PESANAN ZAMAN

  https://youtu.be/iPUCCdsSqnI Bangsa yang begitu besar ini tampaknya semakin sulit mandiri. Selalu menjadi boneka yang sangat mu...