Sabtu, 25 November 2017

DIAM ATAU BICARA




Aku berani mengatakan, Jika kamu berbicara, maka akan datang kepadamu segala keindahan dan jika engkau lebih memilih berdiam diri, maka rasa manis akan selalu meliputimu. Sebab segala ciptaan-Nya tetap saja bermanfaat. Tidak akan ada yang pernah sia-sia.

Bicara dapat menjadikan manusia senang, tapi belum tentu menjadikan tenang. Bicara dapat menimbulkan kejelasan, namun diam dapat menimbulkan “harga”. Bicara punya dua sisi, yaitu kepintaran dan kebodohan. Diam juga punya dua sisi yaitu rasa penasaran dan rasa kasihan.

Bicara itu dakwah lisaniah. Sementara diam adalah emasnya lisan. Bicara itu lambang keramaian. Diam itu simbol kesunyian.

Pilih bicara atau diam?

_AHS_

 

Segala sesuatu memiliki konsekwensi yang berbeda. Manfaat dan mudaratnya akan tetap ada dalam sudut pandang yang memilihnya. Tinggal bagaimana memilih yang tentunya lebih banyak mendatangkan manfaat.

Dakwah dalam artian menyeru pada kebaikan pasti membutuhkan komunikasi. Lewat acara acara keagamaan, para dai menyampaikan pesan pesan moral yang baik dan tentu hampir kesemuanya menggunakan lisan sebagai alat.

Pro dan kontra pasti ada terutama saat sekarang ini. Pemerhati kesalahan akan lebih banyak ketimbang pencinta kebenaran. Lisan dilarang untuk keseleo, apalagi sengaja melecehkan. Dilema besar bagi dai saat ini yang menjadikannya terkekang dalam dakwah. Disatu sisi ada kalimat, Sampaikanlah kebenaran walau pahit, tapi di sisi lain ada peribahasa, Mulutmu Harimaumu. Akhirnya para dai yang ingin aman, memilih hati-hati dan banyak pasrah berserah kepada Allah SWT. Walaupun terkadang ada juga yang sengaja salah atau menyalahkan orang agar cepat terkenal dengan tidak mengindahkan dua pepatah di atas, tapi memiliki rujukan tersendiri yakni; Bul 'alaa zamzam Fatu'raf" yang artinya Kencingi Sumur Zamzam, Maka Kamu Akan Terkenal. Ha ha ha, seru ya?

Di lain sisi pemerhati kesalahan semakin merajalela seolah upah atau gaji bulanan mereka sedang diusulkan naik dikarenakan prestasi mereka yang semakin baik. Makin seru ya? Padahal gaji saja nggak punya loh. Terus kenapa kok semangat kerja tanpa pamrih? Ni dia. Sponsor keburukan itu akan lebih dan selalu banyak. Sebab bung Rhoma sudah mengatakan, “Itulah perangkap setan.” Lagi-lagi setan cegukan karena terus diceritain. Kasihan setan ya? Padahal dalam surat Annas dikatakan bahwa setan itu berasal dari jin dan manusia. Maka nggak heran jika setan teriak, “Setaaaaaaaaaan!”

Masih ingat dengan imam Ahmad ibnu Hambal seorang ulama besar ahli fiqh yang hidup dalam kemiskinan pernah merasakan penderitaan hidup di penjara, karena mempertahankan prinsip pemikiran yang diyakininya dan berbeda dengan khalifah al-Makmun sebagai pemerintahan saat itu.

Imam Abu Hanifah, ahli fiqh yang menjadi fondasi madzhab Hanafi dipenjara karena menolak diangkat menjadi Qadhi oleh khalifah Abu Ja'far al-Mansur. Tidak hanya dipenjara, beliau juga dicambuk dengan 100 kali dera karena dianggap membangkang atas perintah khalifah.

Demikian pula pernah dialami oleh imam Syafi'i, seorang ulama besar yg pemikirannya menjadi rujukan mayoritas ummat Islam dunia hingga saat ini. Beliau dipenjara karena fitnah yang menuduhnya sebagai Syi'ah. Atas tuduhan ini beliau tidak hanya dipenjara tetapi diseret ramai-ramai dalam keadaan tangan terbelenggu seperti pelaku tindak pidana.

Tidak semuanya dapat diceritakan di sini, yang jelas dan pasti adalah bahwa resiko dalam bicara memang selamanya akan tinggi. Apalagi yang berbicara adalah publik Figur dan berpengaruh dalam merubah arah pikir.

Di sisi lain ada juga yang mencapai puncak kesuksesan dengan banyak bicara. Semisal motivator motivator yang menyampaikan pemikirannya dan kaya sebab hal tersebut. Walaupun ada juga yang sedikit terpeleset, tapi tidak sampai masuk penjara. Mungkin hanya populeritas yang terkurangi.

Nah, kenapa kok malah judul dakwah dalam bicara mulai hilang? Karena dakwah telah terlampaui dan berubah dengan sendirinya diakibatkan ada trend baru yang muncul yakni dai. Dalam artian bahwa dai (orang yang menyampaikan) lebih menjadi pusat perhatian ketimbang dakwah (kebaikan yang disampaikan).

Selanjutnya manusia mulai melirik lahan baru dalam pekerjaan. Karena dalam pandangan manusia saat ini, dai telah menjadi profesi yang dapat menghasilkan pundi-pundi di dunia. Walhasil sekarang banyak sudah ustadz dadakan dengan istilah; Mendadak Ustadz.

Materi ceramah bukan hal yang penting. Semakin banyak jadwal acara untuk bicara, maka banyak pula pendapatan (penghasilan), itu yang terpenting. Syarat banyaknya jadwal adalah populer karena disenangi. Akhirnya para dai berlomba menjadi pesanan masyarakat tanpa perduli pesan-pesan Allah yang seharusnya disampaikan.

Apa yang menjadi kesenangan dan pesanan panitia pengundang, itulah yang harus disampaikan dai. Publikasi harus gencar sehingga cepat dikenal masyarakat tanpa perduli apa pun caranya. Jika harus punya gelar aneh, maka embel-embel aneh pun mulai dibuat pada masing-masing nama dai. Ada yang bergelar Ustadz Janggut Ayam, tanpa perduli kalau ayam tidak pernah punya janggut. Ada yang bergelar abu segala abu sampai kepada Ustadz Abu Dafur, eh salah, dapur maksudnya. Namun karena harus mirip arab, maka setiap huruf P harus berubah menjadi F. “Astaghfirullahal’adzim,” gumamku, “kata kata orang, ‘aku juga ustadz!’ Gimana ya? Ikutan kagak? Ha ha ha.” Untuk itulah aku selalu berdoa, “Ya Allah, beri aku petunjuk karena aku masih tersesat, agar kiranya aku tidak salah dalam melangkah.”

Itulah fakta saat ini bagi orang yang harus banyak bicara. Resiko yang didapat akan lebih besar sesuai dengan tingkat penghasilan yang juga akan tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa selangkah demi selangkah jaman telah berubah. Sehingga kebingungan kerap semakin melanda insan dalam menentukan pilihannya.

Ikhlas, rida, tawadu’,wara’, istiqomah dan seluruh simbol-simbol akhirat itu hampir sirna dengan hanya menjadikannya topeng-topeng canggih dalam menggapai kesuksesan dunia.

Kelanjutannya saat ini, dengan demikian haruskah diam menjadi pilihan? Tunggu dulu bro! Diam juga memiliki resiko. Tidak dengan diam semua masalah akan tuntas. Bisa jadi dengan diam, kita semakin diinjak-injak baik dengan cara ditikam langsung atau ditusuk dari belakang. Ketika orang baik lewat di pinggir jalan, lantas copet lewat dan dia tertuduh sebagai copet, apakah dia harus diam? Tidak bukan?

Lain hal jika dia lewat depan rumah orang lantas digonggong anjing. Yah, mungkin diam dan lari adalah pilihan terbaik sebelum dikejar anjing. He he he. Tapi ini masalahnya beda, diteriakin; “maliiiiiiiiiiiiiing!” Kan bahaya kalau diam seolah menerima vonis. Sama juga seperti banyak orang yang sekarang menjadi cemoohan masyarakat sebab fitnah yang jelas-jelas tidak ia lakukan. Diam bukanlah pilihan tepat bagi mereka apalagi persoalannya sampai ke pengadilan.

Bicara itu tetap perlu dan diam itu juga penting. Kondisilah yang menentukan, kebijakan apa yang harus dilakukan, apakah bicara atau diam?

Suatu saat dalam seminggu penuh saya banyak diam, sampai tertulis sebuah syair yang berjudul;

Serba Salah; 

Diamku bukan tanda ku setuju

Hatiku tlah berkata ku tak mampu

Ada dinding batas selaku manusia

Ada ruang hati yang tak semua terbaca

Jika ku ikut semua kata

Pasti jadi serba salah

Manusia hanya pandai bicara

Tak beri apa-apa

Aku bergaya salah, bergaul juga salah

Ketinggalan jaman salah

Berbaik hati salah, berbagi juga salah

Dengki smakin masalah

Benar kata pepatah, diam itu emas kawan

Tak guna banyak bicara

Fitnah di mana-mana

Ingin tinggal di hutan

Ku hidup sendirian, tapi ku bukan Tarzan

Akhirnya ku tersenyum

Pahami kehidupan dan misteri dari Tuhan

 

Itu pertanda bahwa apa yang terjadi pada kebanyakan manusia saat ini juga terjadi pada diri saya. Betapa pelik yang kurasa dalam menghadapi kehidupan ini. Kadangkala malas rasanya bergaul, namun silaturrahim adalah anjuran agama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ULAMA PESANAN ZAMAN

  https://youtu.be/iPUCCdsSqnI Bangsa yang begitu besar ini tampaknya semakin sulit mandiri. Selalu menjadi boneka yang sangat mu...