Rabu, 22 November 2017

USTADZ GHAZALI SARAGIH (AYAHKU)

https://youtu.be/JGSpp6r8Mc4

https://youtu.be/sPyIo20oH58

Apakah sebuah tajuk dalam puji cukup bagimu. Tidaklah laut dengan airnya dapat menghambat dahagaku untuk memujamu. 

Dalam gundahnya, ia menyapaku. Begitu panjang ia bicara kesana dan kesini. Sebab kelu lisannya untuk membuat anaknya ikut susah. Tapi gundah tetaplah gundah. Dengan doa saja hatinya bicara. Dengan air mata jiwanya meronta. Sebab dia adalah kepala. Dia adalah ketua. Dia adalah raja dan pemimpin yang tak pantas menangis. Apalagi mengeluh pada rakyatnya.” 

Sosok Ayah adalah lambang kekokohan. Yang harusnya tidak boleh rapuh kecuali oleh waktu. Sejarah  mengungkapkan bahwa; Ayah menempati urutan ke-dua setelah Ibu.  Namun dalam hal tanggungjawab, tetap saja ia yang menjadi “Nomor Satu”. 



_AHS_



Semenjak aku mulai merasa memiliki akal, mulai menapaki bumi Allah dengan langkah gontai yang belum mengenal arah. Di bangku kelas satu Sekolah Dasar yang saat itu usiaku sekitar enam tahun. Aku mulai melihat dan memahami apa makna ayah dan siapa dia buatku? 

Aku mulai tahu bahwa aku makan dan minum dari hasil keringatnya. Aku dapat mengenyam pendidikan juga sebab dia mau dan mampu menyekolahkanku dan hari ini aku kelihatan tampan dengan seragam yang kupakai rapi, juga merupakan kebaikan dari ayah. Tapi satu hal yang aku saat itu belum tahu; bahwa tak selamanya kantong celana ayahku berisi uang. Aku juga belum tahu bahwa ayahku punya letih dan jenuh. Hingga aku tak pernah segan dan takut meminta yang kumau, kapan dan dimana saja setiap aku menginginkannya.   

Suatu hari ketika ayahku sedang sibuk dengan urusannya, aku datang dan meminta sesuatu, “Yah, aku kan udah kelas empat SD,  kawan-kawanku sudah semua punya sepeda, aku juga sebenarnya sudah pandai naik sepeda, Ayah punya uang? Belikan aku sepeda Yah?!”  

Ayahku menjawab dengan sangat lembut, “Nak, doalah pada Allah! Moga ayah punya uang. Nanti kalau uangnya sudah ada, ayah nggak akan nunggu kamu minta, pasti ayah langsung belikan.” 

Pelajaran penting yang aku dapat saat itu bahwa kuasa bukan di tangan ayahku, tapi kuasa ada di tangan Allah dan satu hal yang belakangan baru aku tahu bahwa  saat itu ayah sama sekali tidak punya uang, bahkan sedang berpikir keras tentang adiknya yang susah dan hampir tidak makan di kampung tempat kelahiran ayahku. “Wahai ayah! Sekali lagi Kuucapkan, ‘aku angkat tangan dengan gaya dan caramu menyenangkanku.’” 

Waktu berlalu cepat dan akhirnya saya menamatkan pendidikan dasar setelah melewati ujian EBTANAS saat itu. Sama sekali belum terpikirkan olehku kemana bakal melanjutkan pendidikan, apakah bertahan di tanah kelahiran atau merantau mencari tempat belajar di perkotaan yang tentunya lebih berkualitas?  Lagi lagi ayahku menawarkan kebaikan kepadaku, “Coba baca brosur ini!” katanya sambil menyodorkan kertas yang berisi tentang persyaratan memasuki sebuah Pondok Pesantren ternama di Medan Sumatera utara.  

Kupandangi kertas itu. Pertama kali mungkin seingatku melihat kertas kilat yang berisi gambar gedung bertingkat empat lengkap dengan berbagai fasilitas. Mulai dari gedung belajar, asrama, masjid megah, dapur, kamar mandi sampai dengan aula dan tempat olahraga yang begitu wah. Disebutkan juga di dalamnya mata pelajaran yang akan dipelajari dan di akhir tentunya biaya yang harus dipenuhi untuk dapat mengenyam pendidikan di tempat itu. 

Sebagai anak pertama di keluarga, aku tahu persis batas kemampuan ekonomi kami. Ayahku yang hanya Pegawai Negeri Sipil, bertugas sebagai guru agama di Sekolah Dasar Negeri, rasanya tidak akan mampu membiayai sekolahku di tempat semewah itu. Maka setelah membaca brosur, aku diam dan tidak mendatangi ayah untuk memberikan tanggapan atas tawarannya. 

Saya adalah anak sulung dari tiga bersaudara. Ketiganya berkelamin sama yaitu laki-laki dan lahir di hari yang sama pula yaitu ahad atau minggu. Kami terlahir dari rahim seorang ibu yang dianugerahkan Allah otak yang pintar. Keahliannya dalam ilmu Exacta, menjadikan kami cenderung terdisiplinkan dalam hal keuangan. Demikian juga efesiensi waktu antara belajar dan bermain menjadi teratur lebih rapi. 

Tebingtinggi adalah Kota administratif tampat kami tinggal. Kotanya yang kecil menjadikan penduduknya lebih mudah untuk saling mengenal dan akrab. Di Sumatera Utara, Tebingtinggi adalah salah satu kota yang bersih dan dekat dengan Kota Medan. Sehingga wajar jika melanjutkan pendidikan setelah SD, Medan menjadi pilihan. 

Suatu siang setelah makan bersama di meja makan. Ayahku bertanya padaku, “Amran, gimana mengenai pesantren itu? Kau tertarik atau tidak?” 

“Aku tertarik Yah. Tapi kulihat biaya sekolah di situ mahal Yah. Apa Ayah mampu?” jawabku. 

“Tugasmu belajar Nak! Mengenai biaya, itu urusan ayah. Jangan kau pikirkan! Kalau memang kau mau, belajarlah serius supaya kau lulus testing. Karena ayah tengok, kayaknya peminat yang akan testing untuk masuk ke pesantren itu sangat banyak. Itu pesantren paforit Nak,” katanya sambil memandangiku serius.  

“Iya Ayah, aku pasti akan lulus.” jawabku yakin. 

Sambil menasehatiku agar tidak terlalu yakin sehingga sombong, kami bubaran dari makan siang. Di hari libur menanti masa testing itu, aku selalu berdecak kagum dalam hati, “Sungguh aku beruntung memiliki ayah yang super bijak dan siap berjuang. Terimakasih Ya Allah.” Terbayang di benakku, bagaimana Rasulullah SAW di masa hidupnya yang tanpa ayah. Beliau dibesarkan kakeknya setelah tak lama ditinggal juga oleh ibunya. Alangkah beruntungnya aku, namun sekarang baru kusadari, bahwa aku masih saja kurang bersyukur.  

Dengan diantar ayah ke medan, aku mengikuti ujian masuk selama satu minggu. Alhamdulillah di hari pengumuman, amplop yang aku terima dari panitia ujian berisi berita tentang kelulusanku. Peserta yang mengikuti ujian masuk, tidak kurang seribu orang. Sementara yang diterima hanya berkisar seratus lima puluh. Alangkah senangnya ayahku waktu itu. Seusai membaca surat kelulusanku, dia menangis sambil menggendong, memutar-mutarkan dan mencium pipiku sambil berkata, “Ayah bangga punya anak sepertimu. Hilang rasanya capek ayah melihat kelulusanmu.”  

Aku diam dan ikutan terharu. Dalam hati aku berkata, “Ayah, aku lebih bangga memilikimu, memiliki seorang ayah yang mampu membuat anaknya ingin terus berprestasi dengan melihat wajah senangnya yang begitu berseri-seri ketika anaknya mendapatkan kesuksesan dan tidak marah ketika anaknya menemui kegagalan.” 

Ada waktu satu minggu buatku dan keluarga bersiap-siap mulai masuk sekolah. Hingga sehari sebelum sampai waktu yang ditentukan, aku harus berangkat ke medan menuju pesantren untuk menetap dan belajar di sana. Pagi itu ibuku sudah mempersiapkan pakaian dan bekal lainnya. Tapi sejak selesai subuh tadi pagi, aku belum melihat ayah kembali ke rumah. Kemanakah ayahku??? 

Ternyata ayah sedang mencari hutangan buat aku bisa masuk ke pesantren mewah itu. Ternyata ayah tengah mencari jalan buat anaknya bisa melanjutkan pendidikan yang lebih baik. Ibuku bercerita tentang semuanya, kata Ibu, “Emas mamak belum cukup walaupun sudah dijual semuanya,” dia diam sejenak dan melanjutkan, “makanya kau bagus-baguslah Nak! Itu ayah sedang membawa Surat Tanah rumah ini untuk dijadikan jaminan mencari pinjaman,” sambil menangis ibu menasehatiku. 

“Ya Allaaaaaaaaaaaah!” ucapku panjang dalam hati, “Apakah perlu sampai begini? Kalau memang pinjaman itu tak didapat ayah, aku rida ya Allah untuk tidak sekolah jauh sampai-sampai harus menyusahkan seperti ini,” keluhku pada diri sendiri. Tapi tak lama setelah itu, kudengar suara sepeda motor ayah datang. Ia sampai dengan wajah begitu senang dan langsung berkata, “Ayo! Kita berangkat. Dah siap semua?” 

Begitulah cara ayahku menyembunyikan sedih dan perihnya. Buat sekolah kami anak-anaknya, apa pun akan ia lakukan. Semoga Allah kelak akan membuatku tetap ingat akan jasa baiknya. 

Sampai aku menamatkan pendidikan tingkat SLTP, semua berjalan baik-baik saja. Masa puberku, hanyalah rintangan kecil yang tidak begitu berpengaruh. Boleh dikatakan, aku lulus tanpa ada rintangan yang berarti. 

Saat itu aku mulai dewasa. Mulai berpikir bagaimana caranya agar dapat mandiri tanpa bantuan orangtuaku secara total lagi. Rasanya ingin membuat hatinya tenang dan senang. Akhirnya aku memilih melanjutkan ke pendidikan berbasis agama tapi tidak harus mondok di pesantren lagi. Hingga aku bisa bebas dalam tujuan mencari jalan agar dapat mandiri. Di saat yang sama, adikku melanjutkan ke pesantren, dimana aku mondok dahulu. 

Selama tiga tahun aku tinggal di medan dengan ngekost dekat dengan sekolahanku. Sebulan sekali ayah datang menghantarkan uang belanjaku dan kemudian adikku. Setiap ia datang, wajahnya selalu ceria. Ia begitu tampan di mataku, begitu gagah dan tenang. Walau wajah letihnya tak bisa ia sembunyikan.  

Semua terus berjalan sampai detik aku menulis ini. Teringat segar di benakku betapa Allah SWT telah memberikanku nikmat yang tidak terhitung sampai aku tak mampu untuk menceritakan semuanya. Padahal hanya satu mata air nikmat dari Allah yang baru dapat aku ceritakan, yakni tentang Nikmat Ayah.

Bersambung............................

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ULAMA PESANAN ZAMAN

  https://youtu.be/iPUCCdsSqnI Bangsa yang begitu besar ini tampaknya semakin sulit mandiri. Selalu menjadi boneka yang sangat mu...