https://youtu.be/04uJ-dPMNxM
https://youtu.be/N5PLTgBm8rE
Renta telah menjemputmu perlahan. Saat ini kau mulai terlihat tua. Tapi
kasihmu padaku tak pernah menua seiring waktu.
Tali tambang pengikat kapal ketika bersandar di pelabuhan, takkan mampu
mengalahkan panjangnya tali kasihmu. Ikatannya yang kuat, taklah sekuat ikatan
bathinmu buatku. Sampai kau tak mampu untuk makan makanan yang enak, kala
teringat anakmu yang jauh ini sambil bergumam, “Makankah anakku di sana?” Doamu begitu sungguh-sungguh buat kami anak-anakmu,
tanpa pernah jenuh walau balasan dari kami belum engkau terima.
_AHS_
Mungkin tidak berlebihan jika setiap hal yang sifatnya melahirkan dan
memelihara akan disebut ibu. Seperti ibu pertiwi, Ibu kota dan lainnya. Sebab
saking hebatnya seorang ibu mampu membesarkan dengan segala kelemahannya.
Suatu hari waktu aku masih duduk di bangku SLTA, secara tak sengaja, aku
sedang membuka album fhoto pernikahan ayah dan ibuku. Ayah terlihat berjanggut
tipis mengenakan jas dan celana yang melebar ke bawah seperti celana penyanyi
dangdut A. Rafik. Kemudian kulihat ibu yang begitu cantik
seperti Dina Mariana artis terkenal
pada masanya. Aku jadi sadar bahwa ibu berperawakan seperti sekarang ini,
disebabkan kami bertiga yang ia lahirkan. Begitulah pengorbanan wanita sehingga
Allah menempatkannya sebagai salah satu nama surat dalam AlQuran.
Malam ini tepat empat hari lagi menjelang lebaran di tahun 2017. Aku
sedang teringat tajam dengan berbagai kasih sayang yang pernah diberikan ibuku.
Sebuah kenangan yang mungkin semakin menarik perhatianku, disebabkan ketika
perjalanan pulang tadi, ada pandangan yang tidak biasa melintasi mata. Aku
pulang naik angkutan umum dengan lelah yang melengkapi kekusutan pakaian.
Hampir hilang sadarku dikarenakan kantuk yang tak tertahan, namun tiba-tiba
kudengar suara tiga orang pengamen melantunkan lagu demi mencari sesuap nasi.
Yang kulihat bahwa lagu hanyalah alasan untuk meminta uang dengan paksa. Di
penghujung, salah seorang dari mereka bicara;
“Bapak-bapak Ibu-Ibu,
Om Tante, Abang Kakak Adik sekalian, mohon pengertiannya untuk sedikit berbagi
recehan! Jangan pura-pura tidur atau tidak dengar! Karena masih baik, kami cuma
meminta. Tidak mencopet atau menodong” ucapnya
setengah mengancam sambil ketiganya berjalan menuju penumpang menyodorkan kantong
plastik kecil untuk diisi uang oleh penumpang.
Sampai akhirnya seorang ibu yang sedang benar-benar tertidur mereka bangunkan dengan ocehan kasar. “Bu, bangun dong, bagi uangnya! Jangan
pura-pura tidur, percuma juga pakai jilbab kalau pelit!” hardiknya tanpa
moral sedikit pun.
Aku tak melanjutkan cerita ini. Cukuplah pemandangan itu mengingatkanku
akan ibu. Boleh jadi hal yang sama pernah dia rasakan bahkan lebih dari itu.
Pernah ketika aku berbuat kesalahan di sekolah. Aku membelanjakan uang
bulanan sekolah buat yang lain. Sangat besar jumlah uang yang telah aku
selewengkan, hingga akhirnya ibuku tahu. Bukan niatnya membelaku, lebih kepada
mengajarkanku arti dari menghargai jerih payah ayahku. Ibuku langsung menjual
perhiasannya, guna mengganti kesalahanku, tanpa sepengetahuan ayah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar