Sabtu, 25 November 2017
IBU KUNCI REZEKI YANG TAK TERBANTAHKAN
https://youtu.be/04uJ-dPMNxM
https://youtu.be/N5PLTgBm8rE
Renta telah menjemputmu perlahan. Saat ini kau mulai terlihat tua. Tapi
kasihmu padaku tak pernah menua seiring waktu.
Tali tambang pengikat kapal ketika bersandar di pelabuhan, takkan mampu
mengalahkan panjangnya tali kasihmu. Ikatannya yang kuat, taklah sekuat ikatan
bathinmu buatku. Sampai kau tak mampu untuk makan makanan yang enak, kala
teringat anakmu yang jauh ini sambil bergumam, “Makankah anakku di sana?” Doamu begitu sungguh-sungguh buat kami anak-anakmu,
tanpa pernah jenuh walau balasan dari kami belum engkau terima.
_AHS_
Mungkin tidak berlebihan jika setiap hal yang sifatnya melahirkan dan
memelihara akan disebut ibu. Seperti ibu pertiwi, Ibu kota dan lainnya. Sebab
saking hebatnya seorang ibu mampu membesarkan dengan segala kelemahannya.
Suatu hari waktu aku masih duduk di bangku SLTA, secara tak sengaja, aku
sedang membuka album fhoto pernikahan ayah dan ibuku. Ayah terlihat berjanggut
tipis mengenakan jas dan celana yang melebar ke bawah seperti celana penyanyi
dangdut A. Rafik. Kemudian kulihat ibu yang begitu cantik
seperti Dina Mariana artis terkenal
pada masanya. Aku jadi sadar bahwa ibu berperawakan seperti sekarang ini,
disebabkan kami bertiga yang ia lahirkan. Begitulah pengorbanan wanita sehingga
Allah menempatkannya sebagai salah satu nama surat dalam AlQuran.
Malam ini tepat empat hari lagi menjelang lebaran di tahun 2017. Aku
sedang teringat tajam dengan berbagai kasih sayang yang pernah diberikan ibuku.
Sebuah kenangan yang mungkin semakin menarik perhatianku, disebabkan ketika
perjalanan pulang tadi, ada pandangan yang tidak biasa melintasi mata. Aku
pulang naik angkutan umum dengan lelah yang melengkapi kekusutan pakaian.
Hampir hilang sadarku dikarenakan kantuk yang tak tertahan, namun tiba-tiba
kudengar suara tiga orang pengamen melantunkan lagu demi mencari sesuap nasi.
Yang kulihat bahwa lagu hanyalah alasan untuk meminta uang dengan paksa. Di
penghujung, salah seorang dari mereka bicara;
“Bapak-bapak Ibu-Ibu,
Om Tante, Abang Kakak Adik sekalian, mohon pengertiannya untuk sedikit berbagi
recehan! Jangan pura-pura tidur atau tidak dengar! Karena masih baik, kami cuma
meminta. Tidak mencopet atau menodong” ucapnya
setengah mengancam sambil ketiganya berjalan menuju penumpang menyodorkan kantong
plastik kecil untuk diisi uang oleh penumpang.
Sampai akhirnya seorang ibu yang sedang benar-benar tertidur mereka bangunkan dengan ocehan kasar. “Bu, bangun dong, bagi uangnya! Jangan
pura-pura tidur, percuma juga pakai jilbab kalau pelit!” hardiknya tanpa
moral sedikit pun.
Aku tak melanjutkan cerita ini. Cukuplah pemandangan itu mengingatkanku
akan ibu. Boleh jadi hal yang sama pernah dia rasakan bahkan lebih dari itu.
Pernah ketika aku berbuat kesalahan di sekolah. Aku membelanjakan uang
bulanan sekolah buat yang lain. Sangat besar jumlah uang yang telah aku
selewengkan, hingga akhirnya ibuku tahu. Bukan niatnya membelaku, lebih kepada
mengajarkanku arti dari menghargai jerih payah ayahku. Ibuku langsung menjual
perhiasannya, guna mengganti kesalahanku, tanpa sepengetahuan ayah.
BOLEH NGEBUT, JANGAN NGEBET!
Banyak petuah lewat pepatah bahkan filosopi yang saat ini sudah tidak
efektif untuk dilaksanakan. Seiring
berkembangnya zaman, puncak pencarian atau tujuan pun mulai berubah. Terkadang
kepalsuan lebih laris dari keaslian. Tak jarang kita melihat peniru yang tidak
punya jati diri, lebih diakui dan dikenal ketimbang yang “ditiru” (diikuti).
Ada apa???
Boleh jadi memang benar bahwa makhluk dan prinsip-prinsipnya akan terus
berubah tanpa henti, terlepas ada saatnya perubahan itu kembali ke awal seperti
roda yang kadang di atas, kadang di bawah.
_AHS_
Masih ingatkah Anda dengan pepatah; Biar
Lambat Asal Selamat? Petuah ini sering kudengar dari lisan ayah. Beberapa
tahun kemudian, efektivitasnya mulai dikritik dan diragukan dengan masuknya
istilah baru; Cepat Tepat. Pergeserannya
tidak banyak dirasakan orang, namun pada pelaksanaannya, jelas-jelas perubahan
itu nyata. Keselamatan telah menjadi nomor selanjutnya setelah kecepatan.
Selamat bukan lagi menjadi tujuan. Ketika
melihat perlombaan balap motor, jelas terlihat bahwa keselamatan tidak
begitu penting. Apa dan bagaimana pun kondisinya, yang terpenting sampai ke
garis finish dengan waktu tercepat.
Banyak kejadian yang berstatus sama dengan kasus yang berbeda. Seperti
halnya pencuri dengan pemilik yang sudah semakin sulit dibedakan.
Nah, hal di atas memiliki banyak pelajaran penting yang dapat kita jadikan bahan berpikir bahwa antara satu hal yang berlawanan dengan hal lain sebenarnya memiliki hubungan searah yang patut diperhatikan. Seperti benci dengan rindu, keduanya bermakna perduli. Layaknya hukum dengan hikmah yang membedakannya hanyalah sudut pandang dan tak ubahnya zina dengan nikah (jima') yang menjadikannya halal atau haram adalah akad.
Tergesa-gesa adalah perbuatan setan, namun bergegas buat taubat demi menggapai maghfiroh Allah SWT adalah keharusan. Apa yang membedakan semua itu? Tempat dan kondisi.
Sebuah ayat yang populer dan menarik untuk ditadabburi, Firman Allah;
Wahai jiwa yang tenang! (27), Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya (28). Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hambak-Ku (29), dan masuklah ke dalam surga-Ku (30).” (Al-Fajr 27-30)
Hati yang ridha dan diridhai-Nya adalah kunci mendapatkan surga Allah SWT.
Sebuah ayat yang populer dan menarik untuk ditadabburi, Firman Allah;
Wahai jiwa yang tenang! (27), Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya (28). Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hambak-Ku (29), dan masuklah ke dalam surga-Ku (30).” (Al-Fajr 27-30)
Hati yang ridha dan diridhai-Nya adalah kunci mendapatkan surga Allah SWT.
DIAM ATAU BICARA
Aku berani mengatakan, “Jika kamu berbicara, maka akan datang kepadamu segala keindahan dan jika engkau lebih memilih berdiam diri, maka rasa manis akan selalu meliputimu. Sebab segala ciptaan-Nya tetap saja bermanfaat. Tidak akan ada yang pernah sia-sia.”
Bicara dapat menjadikan manusia senang, tapi belum tentu menjadikan tenang. Bicara dapat menimbulkan kejelasan, namun diam dapat menimbulkan “harga”. Bicara punya dua sisi, yaitu kepintaran dan kebodohan. Diam juga punya dua sisi yaitu rasa penasaran dan rasa kasihan.
Bicara itu dakwah lisaniah. Sementara diam adalah emasnya lisan. Bicara itu lambang keramaian. Diam itu simbol kesunyian.
Pilih bicara atau diam?
_AHS_
Segala sesuatu memiliki konsekwensi yang berbeda. Manfaat dan mudaratnya akan tetap ada dalam sudut pandang yang memilihnya. Tinggal bagaimana memilih yang tentunya lebih banyak mendatangkan manfaat.
Dakwah dalam artian menyeru pada kebaikan pasti membutuhkan komunikasi. Lewat acara acara keagamaan, para dai menyampaikan pesan pesan moral yang baik dan tentu hampir kesemuanya menggunakan lisan sebagai alat.
Pro dan kontra pasti ada terutama saat sekarang ini. Pemerhati kesalahan akan lebih banyak ketimbang pencinta kebenaran. Lisan dilarang untuk keseleo, apalagi sengaja melecehkan. Dilema besar bagi dai saat ini yang menjadikannya terkekang dalam dakwah. Disatu sisi ada kalimat, Sampaikanlah kebenaran walau pahit, tapi di sisi lain ada peribahasa, Mulutmu Harimaumu. Akhirnya para dai yang ingin aman, memilih hati-hati dan banyak pasrah berserah kepada Allah SWT. Walaupun terkadang ada juga yang sengaja salah atau menyalahkan orang agar cepat terkenal dengan tidak mengindahkan dua pepatah di atas, tapi memiliki rujukan tersendiri yakni; “Bul 'alaa zamzam Fatu'raf" yang artinya Kencingi Sumur Zamzam, Maka Kamu Akan Terkenal. Ha ha ha, seru ya?
Di lain sisi pemerhati kesalahan semakin merajalela seolah upah atau gaji bulanan mereka sedang diusulkan naik dikarenakan prestasi mereka yang semakin baik. Makin seru ya? Padahal gaji saja nggak punya loh. Terus kenapa kok semangat kerja tanpa pamrih? Ni dia. Sponsor keburukan itu akan lebih dan selalu banyak. Sebab bung Rhoma sudah mengatakan, “Itulah perangkap setan.” Lagi-lagi setan cegukan karena terus diceritain. Kasihan setan ya? Padahal dalam surat Annas dikatakan bahwa setan itu berasal dari jin dan manusia. Maka nggak heran jika setan teriak, “Setaaaaaaaaaan!”
Masih ingat dengan imam Ahmad ibnu Hambal seorang ulama besar ahli fiqh yang hidup dalam kemiskinan pernah merasakan penderitaan hidup di penjara, karena mempertahankan prinsip pemikiran yang diyakininya dan berbeda dengan khalifah al-Makmun sebagai pemerintahan saat itu.
Imam Abu Hanifah, ahli fiqh yang menjadi fondasi madzhab Hanafi dipenjara karena menolak diangkat menjadi Qadhi oleh khalifah Abu Ja'far al-Mansur. Tidak hanya dipenjara, beliau juga dicambuk dengan 100 kali dera karena dianggap membangkang atas perintah khalifah.
Demikian pula pernah dialami oleh imam Syafi'i, seorang ulama besar yg pemikirannya menjadi rujukan mayoritas ummat Islam dunia hingga saat ini. Beliau dipenjara karena fitnah yang menuduhnya sebagai Syi'ah. Atas tuduhan ini beliau tidak hanya dipenjara tetapi diseret ramai-ramai dalam keadaan tangan terbelenggu seperti pelaku tindak pidana.
Tidak semuanya dapat diceritakan di sini, yang jelas dan pasti adalah bahwa resiko dalam bicara memang selamanya akan tinggi. Apalagi yang berbicara adalah publik Figur dan berpengaruh dalam merubah arah pikir.
Di sisi lain ada juga yang mencapai puncak kesuksesan dengan banyak bicara. Semisal motivator motivator yang menyampaikan pemikirannya dan kaya sebab hal tersebut. Walaupun ada juga yang sedikit terpeleset, tapi tidak sampai masuk penjara. Mungkin hanya populeritas yang terkurangi.
Nah, kenapa kok malah judul dakwah dalam bicara mulai hilang? Karena dakwah telah terlampaui dan berubah dengan sendirinya diakibatkan ada trend baru yang muncul yakni dai. Dalam artian bahwa dai (orang yang menyampaikan) lebih menjadi pusat perhatian ketimbang dakwah (kebaikan yang disampaikan).
Selanjutnya manusia mulai melirik lahan baru dalam pekerjaan. Karena dalam pandangan manusia saat ini, dai telah menjadi profesi yang dapat menghasilkan pundi-pundi di dunia. Walhasil sekarang banyak sudah ustadz dadakan dengan istilah; Mendadak Ustadz.
Materi ceramah bukan hal yang penting. Semakin banyak jadwal acara untuk bicara, maka banyak pula pendapatan (penghasilan), itu yang terpenting. Syarat banyaknya jadwal adalah populer karena disenangi. Akhirnya para dai berlomba menjadi pesanan masyarakat tanpa perduli pesan-pesan Allah yang seharusnya disampaikan.
Apa yang menjadi kesenangan dan pesanan panitia pengundang, itulah yang harus disampaikan dai. Publikasi harus gencar sehingga cepat dikenal masyarakat tanpa perduli apa pun caranya. Jika harus punya gelar aneh, maka embel-embel aneh pun mulai dibuat pada masing-masing nama dai. Ada yang bergelar Ustadz Janggut Ayam, tanpa perduli kalau ayam tidak pernah punya janggut. Ada yang bergelar abu segala abu sampai kepada Ustadz Abu Dafur, eh salah, dapur maksudnya. Namun karena harus mirip arab, maka setiap huruf P harus berubah menjadi F. “Astaghfirullahal’adzim,” gumamku, “kata kata orang, ‘aku juga ustadz!’ Gimana ya? Ikutan kagak? Ha ha ha.” Untuk itulah aku selalu berdoa, “Ya Allah, beri aku petunjuk karena aku masih tersesat, agar kiranya aku tidak salah dalam melangkah.”
Itulah fakta saat ini bagi orang yang harus banyak bicara. Resiko yang didapat akan lebih besar sesuai dengan tingkat penghasilan yang juga akan tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa selangkah demi selangkah jaman telah berubah. Sehingga kebingungan kerap semakin melanda insan dalam menentukan pilihannya.
Ikhlas, rida, tawadu’,wara’, istiqomah dan seluruh simbol-simbol akhirat itu hampir sirna dengan hanya menjadikannya topeng-topeng canggih dalam menggapai kesuksesan dunia.
Kelanjutannya saat ini, dengan demikian haruskah diam menjadi pilihan? Tunggu dulu bro! Diam juga memiliki resiko. Tidak dengan diam semua masalah akan tuntas. Bisa jadi dengan diam, kita semakin diinjak-injak baik dengan cara ditikam langsung atau ditusuk dari belakang. Ketika orang baik lewat di pinggir jalan, lantas copet lewat dan dia tertuduh sebagai copet, apakah dia harus diam? Tidak bukan?
Lain hal jika dia lewat depan rumah orang lantas digonggong anjing. Yah, mungkin diam dan lari adalah pilihan terbaik sebelum dikejar anjing. He he he. Tapi ini masalahnya beda, diteriakin; “maliiiiiiiiiiiiiing!” Kan bahaya kalau diam seolah menerima vonis. Sama juga seperti banyak orang yang sekarang menjadi cemoohan masyarakat sebab fitnah yang jelas-jelas tidak ia lakukan. Diam bukanlah pilihan tepat bagi mereka apalagi persoalannya sampai ke pengadilan.
Bicara itu tetap perlu dan diam itu juga penting. Kondisilah yang menentukan, kebijakan apa yang harus dilakukan, apakah bicara atau diam?
Suatu saat dalam seminggu penuh saya banyak diam, sampai tertulis sebuah syair yang berjudul;
Serba Salah;
Diamku bukan tanda ku setuju
Hatiku tlah berkata ku tak mampu
Ada dinding batas selaku manusia
Ada ruang hati yang tak semua terbaca
Jika ku ikut semua kata
Pasti jadi serba salah
Manusia hanya pandai bicara
Tak beri apa-apa
Aku bergaya salah, bergaul juga salah
Ketinggalan jaman salah
Berbaik hati salah, berbagi juga salah
Dengki smakin masalah
Benar kata pepatah, diam itu emas kawan
Tak guna banyak bicara
Fitnah di mana-mana
Ingin tinggal di hutan
Ku hidup sendirian, tapi ku bukan Tarzan
Akhirnya ku tersenyum
Pahami kehidupan dan misteri dari Tuhan
Itu pertanda bahwa apa yang terjadi pada kebanyakan manusia saat ini juga terjadi pada diri saya. Betapa pelik yang kurasa dalam menghadapi kehidupan ini. Kadangkala malas rasanya bergaul, namun silaturrahim adalah anjuran agama.
Langganan:
Postingan (Atom)
ULAMA PESANAN ZAMAN
https://youtu.be/iPUCCdsSqnI Bangsa yang begitu besar ini tampaknya semakin sulit mandiri. Selalu menjadi boneka yang sangat mu...
-
https://youtu.be/04uJ-dPMNxM https://youtu.be/N5PLTgBm8rE Renta telah menjemputmu perlahan. Saat ini kau mulai terlihat tu...
-
https://youtu.be/JGSpp6r8Mc4 https://youtu.be/sPyIo20oH58 Apakah sebuah tajuk dalam puji cukup bagimu. Tidaklah laut dengan airnya d...
-
My name is amran HS.I am a real moeslem and i love my religion. But what i think is not same with the many other moeslem thinks. A...